Selasa, 02 Februari 2010

Negeri Lain

"Kau mau kemana?"

"Aku mau pergi."

"Iya, aku tau itu. Tapi kemana?" tanyaku lagi.

"Negeri Lain," jawabnya sambil menatapku.

"Tapi di sini indah, Sayang. Ini Negeri Sore, dimana langit selalu jingga, matahari tak pernah terik menyengat, dan gelap tak pernah ada," jawabku sambil menatap matanya.





"Aku ingin bersamamu, tapi aku tak mau hidup selamanya di Negeri Sore. Aku bosan di sini. Apa yang kau nikmati dari tempat ini? Bukankah sejak kau bisa melihat dunia, kau ada di sini? Tidak bosan?" tanyanya.

"Apa itu bosan? Aku belum pernah merasakannya." jawabku. Lalu kami terdiam. Larut dalam batin masing-masing. Kami tak berani untuk sekedar saling menatap. Hanya terdiam.

Aku tidak pernah menyangka bahwa dia sungguh ingin pergi dari Negeri Sore. Inginku dia tetap di sini. Menikmati Negeri yang selalu indah ini. Di sini, benar seperti kataku tadi, tak pernah ada gelap. Langit selalu jingga. Segala sesuatu berwarna emas, disini. Awan, daun, pepohonan, atap rumah, air sungai, bahkan kulit dan rambut kami. Sungguh, benar indah, kataku.

***

"Katamu dulu, kau mau menemaniku keluar dari Negeri Sore. Kenapa sekarang kau menahanku untuk tetap disini?" tanyanya membuyarkan lamunanku.

"Itu dulu. Lain sekarang. Aku belum siap melihat gelap. Katamu, di Negeri Lain yang kamu tuju, akan ada gelap," jawabku.

"Iya, tapi di sana kamu juga bisa menikmati saat terang kembali datang. Tidak melulu jingga seperti di sini. Sudahlah, ikut denganku, aku menjanjikanmu indah di luar sana," dia mulai menggenggam tanganku, dan tatapan memohonnya membuatku tertunduk.

"Kata ibuku, gelap itu mati. Kau hanya bisa menutup mata saat itu tiba, dan kau tak bisa merasakan apapun. Aku ingin denganmu, tapi..." jawabku tak selesai.

"Tapi saat terang kembali datang, kau akan lebih hidup. Pernahkah ibumu mengatakan hal itu?" tanyanya.

"Belum, atau mungkin tidak akan pernah ibuku mengatakannya. Dia bilang, dia tak mau berbincang lagi tentang Negeri Lain," jawabku.

Aku bingung. Nafasku sesak setelahnya. Aku mungkin tidak akan bertahan sendiri di negeri ini. Hal yang sama mungkin terjadi di Negeri Lain.

"Bagaimanapun kamu menahanku, aku tetap akan pergi. Tunggu aku kembali, " katanya.

"Akankah kau kembali?"

"Mungkin," jawabnya.

"Lalu haruskah aku menunggu mungkin itu?" tanyaku.

"Terserah," katanya.

"Boleh aku tidak menunggumu?" tanyaku lagi.

"Terserah," jawabnya. "Aku tidak mampu berjanji."

***

Beratus hari berlalu, dan aku tidak pernah tahu, sampaikah dia pada Negeri Lain? Bahagiakah dia di sana? Matikah dia saat gelap tiba?

Dan memang aku tidak pernah menunggunya... Entah bagaimana dia sekarang di Negeri Lain... Hanya terkadang terlintas di benakku untuk bertanya padanya, entah kapan, pasti akan kutanya, ketika dia mungkin kembali.

***

Solo, 02022010

4 komentar: