Senin, 29 Maret 2010

Aku dan Bosan


Sudah pernah kukenalkan dengan Bosan? Dia kekasihku tercinta. Badannya tinggi tegap, kulitnya gelap bersih. Senyumnya,.. aduhai... sungguh akan membuatmu terpesona. Kami menjalin kasih sudah lama, sangat lama, mungkin.. Sejak aku dalam kandungan ibuku, dia sudah menjadi kekasihku. Kami tak terpisahkan. Aku dan Bosan selalu bersama. Sampai suatu ketika dia berkata, "Cinta, aku harus pergi.."

Aku terperangah, "Kenapa, Bosan? Tak taukah kau kita sudah dijodohkan? Kita ditakdirkan untuk bersama.. Kita harus menikah, Sayang.."

"Tak bisa, Cinta.. Entah.. Sepertinya, aku tidak pernah mencintaimu.."

Lalu aku sejenak berpikir, "Apa cinta itu? Bukankah sebuah alasan yang cukup bila kami saling menemani sejak matahari muncul sampai muncul lagi? Bukankah dia bisa hidup denganku? Aku akan memasakkannya setiap pagi dan menyiapkan teh sebelum dia berangkat ke ladang. Tidak cukupkah itu?"

Tanyaku, "Bosan, cinta itu apa? Kata bapakku, cinta itu berteman dengan waktu, ia akan datang tanpa kita sadari. Tidakkah cukup alasan bagimu menikahiku karena kita sudah biasa bersama?"

Bosan menatap mataku tajam tanpa berkedip, lalu berkata, "Aku ingin mencari cinta yang sesungguhnya, Cinta. Aku ingin menikah bukan karena kamu tak bisa hidup tanpaku, tapi aku ingin menikah denga cinta. Ada debar yang ingin kurasa."

"Apa kamu tak pernah merasakan hatimu berdebar ketika bersamaku?" tanyaku
"Aku sudah lupa. Sudah terlalu lama kita bersama. Mungkin aku pernah merasa debar itu, mungkin juga tidak... Ah apa pedulimu? Ini hidupku," katanya.

Aku hanya tertunduk. Lemas rasanya seluruh tubuhku, darah ini serasa luruh, tapi aku tidak bisa menangis. Hanya diam, sampai langkah kakinya tak terdengar lagi. Dia benar benar pergi,.. Bosan benar-benar meninggalkanku..

***

Sekian waktu berlalu, aku mati dalam hidupku. Rasanya aku sungguh tak punya tujuan untuk apa aku hidup. Aku sungguh khawatir akan apa yang terjadi pada Bosan. Matikah ia? Bahagiakah ia? Atau dia sudah menikah dengan cintanya? Sampai suatu ketika tetanggaku berkata, " Cinta!! Cepat keluar, kau harus melihatnya!! Bosan kembali...!"

Aku tergeragap, "Apa? Bosan pulang? Masihkah dia tinggi tegap? Masihkah dia tampan? Dengan siapa dia pulang? Istrinya kah?"

"Tidak, Cinta. Dia pulang sendiri.."

Aku buka pintu rumahku, lalu terkejut ada sepasang kaki di ambangnya, aku menengadah. Tak lama aku memandangnya, lalu aku memeluknya, erat, sungguh erat... Dan dia berkata, "Aku tidak butuh sesuatu bernama cinta yang selama ini kucari untuk menikah, aku butuh kamu, gadisku. Ternyata kamu cinta sebenarnya.."

***

1 komentar: