Jumat, 03 Desember 2010

renungan malam


ketika iri datang merajai,
tarik nafas dalam - dalam,
biarkan pergi,...
jangan kotori batinmu,...

ketika khawatir datang tiba - tiba,..
tarik nafas dalam - dalam..
berdoa, serahkan pada kekuatan alam yang lebih besar dari kita,
jangan kotori batinmu,...

ketika rasa bersalah muncul,..
let it go,..
yang berlalu biar berlalu,
sambut hari lebih baik,...
jangan kotori batinmu,...

ketika sombong dan takabur pikirmu,..
biarkan pergi,
diatas langit masih ada langit,..
kesombongan tidak akan mebawamu kemana-mana,..
jangan kotori batinmu,...

jangan kotori batinmu,...

jangan kotori batinmu,...

Solo, 03122010

Selasa, 06 April 2010

Puisi Lama

kehampaan itu datang tiba-tiba
saat aku di bawah pohon jambu
menggenggam sehelai daun jatuh
lalu menerawang terbangkan angan

ia datang tanpa dinyana
meremangkan tengkukku seketika
mencumbuku dengan dahsyatnya
disana, di bawah pohon jambu
dimana belukarnya bergoyang meringsak-ringsak

hingga tiba aku tersadar
semua itu sudah berlalu
saat kubuka telapakku
masih ada daun jatuh disitu...

Yogya, 18 Juli 2003

Senin, 29 Maret 2010

Aku dan Bosan


Sudah pernah kukenalkan dengan Bosan? Dia kekasihku tercinta. Badannya tinggi tegap, kulitnya gelap bersih. Senyumnya,.. aduhai... sungguh akan membuatmu terpesona. Kami menjalin kasih sudah lama, sangat lama, mungkin.. Sejak aku dalam kandungan ibuku, dia sudah menjadi kekasihku. Kami tak terpisahkan. Aku dan Bosan selalu bersama. Sampai suatu ketika dia berkata, "Cinta, aku harus pergi.."

Aku terperangah, "Kenapa, Bosan? Tak taukah kau kita sudah dijodohkan? Kita ditakdirkan untuk bersama.. Kita harus menikah, Sayang.."

"Tak bisa, Cinta.. Entah.. Sepertinya, aku tidak pernah mencintaimu.."

Lalu aku sejenak berpikir, "Apa cinta itu? Bukankah sebuah alasan yang cukup bila kami saling menemani sejak matahari muncul sampai muncul lagi? Bukankah dia bisa hidup denganku? Aku akan memasakkannya setiap pagi dan menyiapkan teh sebelum dia berangkat ke ladang. Tidak cukupkah itu?"

Tanyaku, "Bosan, cinta itu apa? Kata bapakku, cinta itu berteman dengan waktu, ia akan datang tanpa kita sadari. Tidakkah cukup alasan bagimu menikahiku karena kita sudah biasa bersama?"

Bosan menatap mataku tajam tanpa berkedip, lalu berkata, "Aku ingin mencari cinta yang sesungguhnya, Cinta. Aku ingin menikah bukan karena kamu tak bisa hidup tanpaku, tapi aku ingin menikah denga cinta. Ada debar yang ingin kurasa."

"Apa kamu tak pernah merasakan hatimu berdebar ketika bersamaku?" tanyaku
"Aku sudah lupa. Sudah terlalu lama kita bersama. Mungkin aku pernah merasa debar itu, mungkin juga tidak... Ah apa pedulimu? Ini hidupku," katanya.

Aku hanya tertunduk. Lemas rasanya seluruh tubuhku, darah ini serasa luruh, tapi aku tidak bisa menangis. Hanya diam, sampai langkah kakinya tak terdengar lagi. Dia benar benar pergi,.. Bosan benar-benar meninggalkanku..

***

Sekian waktu berlalu, aku mati dalam hidupku. Rasanya aku sungguh tak punya tujuan untuk apa aku hidup. Aku sungguh khawatir akan apa yang terjadi pada Bosan. Matikah ia? Bahagiakah ia? Atau dia sudah menikah dengan cintanya? Sampai suatu ketika tetanggaku berkata, " Cinta!! Cepat keluar, kau harus melihatnya!! Bosan kembali...!"

Aku tergeragap, "Apa? Bosan pulang? Masihkah dia tinggi tegap? Masihkah dia tampan? Dengan siapa dia pulang? Istrinya kah?"

"Tidak, Cinta. Dia pulang sendiri.."

Aku buka pintu rumahku, lalu terkejut ada sepasang kaki di ambangnya, aku menengadah. Tak lama aku memandangnya, lalu aku memeluknya, erat, sungguh erat... Dan dia berkata, "Aku tidak butuh sesuatu bernama cinta yang selama ini kucari untuk menikah, aku butuh kamu, gadisku. Ternyata kamu cinta sebenarnya.."

***

Selasa, 02 Februari 2010

Negeri Lain

"Kau mau kemana?"

"Aku mau pergi."

"Iya, aku tau itu. Tapi kemana?" tanyaku lagi.

"Negeri Lain," jawabnya sambil menatapku.

"Tapi di sini indah, Sayang. Ini Negeri Sore, dimana langit selalu jingga, matahari tak pernah terik menyengat, dan gelap tak pernah ada," jawabku sambil menatap matanya.





"Aku ingin bersamamu, tapi aku tak mau hidup selamanya di Negeri Sore. Aku bosan di sini. Apa yang kau nikmati dari tempat ini? Bukankah sejak kau bisa melihat dunia, kau ada di sini? Tidak bosan?" tanyanya.

"Apa itu bosan? Aku belum pernah merasakannya." jawabku. Lalu kami terdiam. Larut dalam batin masing-masing. Kami tak berani untuk sekedar saling menatap. Hanya terdiam.

Aku tidak pernah menyangka bahwa dia sungguh ingin pergi dari Negeri Sore. Inginku dia tetap di sini. Menikmati Negeri yang selalu indah ini. Di sini, benar seperti kataku tadi, tak pernah ada gelap. Langit selalu jingga. Segala sesuatu berwarna emas, disini. Awan, daun, pepohonan, atap rumah, air sungai, bahkan kulit dan rambut kami. Sungguh, benar indah, kataku.

***

"Katamu dulu, kau mau menemaniku keluar dari Negeri Sore. Kenapa sekarang kau menahanku untuk tetap disini?" tanyanya membuyarkan lamunanku.

"Itu dulu. Lain sekarang. Aku belum siap melihat gelap. Katamu, di Negeri Lain yang kamu tuju, akan ada gelap," jawabku.

"Iya, tapi di sana kamu juga bisa menikmati saat terang kembali datang. Tidak melulu jingga seperti di sini. Sudahlah, ikut denganku, aku menjanjikanmu indah di luar sana," dia mulai menggenggam tanganku, dan tatapan memohonnya membuatku tertunduk.

"Kata ibuku, gelap itu mati. Kau hanya bisa menutup mata saat itu tiba, dan kau tak bisa merasakan apapun. Aku ingin denganmu, tapi..." jawabku tak selesai.

"Tapi saat terang kembali datang, kau akan lebih hidup. Pernahkah ibumu mengatakan hal itu?" tanyanya.

"Belum, atau mungkin tidak akan pernah ibuku mengatakannya. Dia bilang, dia tak mau berbincang lagi tentang Negeri Lain," jawabku.

Aku bingung. Nafasku sesak setelahnya. Aku mungkin tidak akan bertahan sendiri di negeri ini. Hal yang sama mungkin terjadi di Negeri Lain.

"Bagaimanapun kamu menahanku, aku tetap akan pergi. Tunggu aku kembali, " katanya.

"Akankah kau kembali?"

"Mungkin," jawabnya.

"Lalu haruskah aku menunggu mungkin itu?" tanyaku.

"Terserah," katanya.

"Boleh aku tidak menunggumu?" tanyaku lagi.

"Terserah," jawabnya. "Aku tidak mampu berjanji."

***

Beratus hari berlalu, dan aku tidak pernah tahu, sampaikah dia pada Negeri Lain? Bahagiakah dia di sana? Matikah dia saat gelap tiba?

Dan memang aku tidak pernah menunggunya... Entah bagaimana dia sekarang di Negeri Lain... Hanya terkadang terlintas di benakku untuk bertanya padanya, entah kapan, pasti akan kutanya, ketika dia mungkin kembali.

***

Solo, 02022010

Kamis, 28 Januari 2010

Mati Esok Hari

"Aku mati esok hari," katanya sambil menatapku tajam.

"Lalu mengapa kau beritahu aku? Apa pentingnya?" tanyaku sambil mengalihkan pandangan. Aku tak pernah bisa menatapnya lama.

"Tidak, tidak pernah penting hidupku bagimu. Maaf, aku hanya ingin menghabiskan malam ini denganmu sebelum aku mati," katanya mengiba.

"Buat apa? Toh setelah itu kau mati dan tidak merasakan apapun,"

"Siapa tahu dengan sedikit saja bahagia, aku bisa hidup lebih lama..." dia mulai merayuku. Tangannya menggenggam tanganku. Kukibaskan dan aku berdiri.

Aku acungkan telunjukku ke matanya, "Jangan pernah mencoba merayuku. Aku tidak peduli kau mau mati atau tetap hidup. Aku tidak pernah peduli kau bahagia atau tidak. Aku hanya ingin kau pergi dari hidupku."

Lalu dia beranjak memunggungiku dan hilang ditelan gelap.

***

"Kenapa kau masih datang kesini? Katamu kau mati hari ini?"

"Mungkin diundur matiku," jawabnya.

"Kenapa tidak cepat-cepat saja kau mati? Aku sudah bosan melihatmu datang setiap malam dan berkata, "Aku mati esok hari","

"Tolong, sekali saja dengarkan aku, aku sungguh akan mati esok hari. Kali ini aku sungguh-sungguh," katanya mencoba meyakinkanku.

"Bisa tidak sekali saja kau mengerti? Kau tidak akan pernah bisa memaksaku menghabiskan satu malam saja denganmu. Aku tidak pedulikanmu," ujarku marah.

Sekali lagi dia beranjak dalam gelap.

***

Sekian malam berlalu, dan aku cukup bahagia, dia sudah tidak pernah datang lagi. Tidak ada lagi yang merengek, "Aku mati esok hari."

Tidurku pulas, hidupku lega, tanpa pernah sekalipun aku berpikir tentang si Mati Esok Hari. Aku tidak pernah mencari tahu dimana orang itu. Aku tidak peduli dia sudah mati atau belum. Mungkin dia merengek-rengek pada gadis lain untuk menemaninya menghabiskan malam dengan berkata, "Aku mati esok hari."

Mungkin dia sudah menemukan seseorang yang mau menemaninya menghabiskan malam. Atau dia sudah benar mati. Aku tak peduli. Yang jelas aku senang dia tak pernah datang padaku.

***

Sampai suatu ketika nafasku tersengal. Mungkin saja aku mati esok hari.

Aku tergegas mencari pemuda, yang bahkan aku tak pernah mau tau namanya. Aku sungguh ingin menatap matanya, mengijinkannya menggenggam tanganku, dan akan kuhabiskan semalam bersamanya. Aku hanya ingin minta maaf.

Semua gelap sudah kutelusuri, tapi tak pernah kutemukan pemuda itu. Aku hanya ingin dia jangan mati dulu sebelum sempat kami sempat bertemu.

Jangan mati esok hari,... Aku mohon...

***

Solo, 28 Januari 2010

Rabu, 27 Januari 2010

Tabungan Cinta

"Nanti malam aku telpon lagi ya, Sayang..," katanya manja, setengah merayuku. "Mmmm....," ujarku setengah berpikir, "Baiklah,... tapi ada satu hal yang ingin aku tanyakan padamu sebelum kamu menutup pembicaraan kita," kataku. Sesungguhnya aku sekedar ingin mengulur perbincangan kami.

"Apa itu?" dia menanggapinya sedikit penasaran.

"Jawab dengan jujur pertanyaanku," pintaku. Tidak ada suara di seberang telepon. "Pastilah dia semakin penasaran," pikirku. "Sayang, masihkah kau disitu?" tanyaku.

"Ya,.. apa yang ingin kau tanyakan?"

"Suka sekali kamu berbincang denganku. Mengapa?"

"Karena kamu tidak banyak berbicara, justru itu yang kusuka," jawabnya singkat lalu menutup telepon.

Aku terhenyak sejenak. Wanita satu ini sungguh misterius. Belum ada sosok yang membuatku selalu berangan. Dia yang pertama. Aku belum pernah bertemu muka dengannya, kami hanya selalu berbincang lewat telepon.

***

Berawal dari suatu senja. Ketika aku sedang sendirian menerawang awan, dering telepon memutus lamunanku kala itu. Kupikir, "Siapa yang akan mengajakku berbincang senja ini? Ah, mungkin salah sambung." Tapi kuangkat juga telpon itu dan suaranya menyambutku, katanya, "Hai,.. bagaimana senjamu hari ini? Bolehkah kutemani menerawangnya?"

"Siapa kau? Bagaimana pernah kau tau kebiasaan senjaku?

"Tak usah kau pedulikan siapa aku,... aku hanya ingin menemanimu."

Dan kami pun terhanyut dalam perbincangan sejak saat itu, setiap saat kami menginginkannya, tak peduli waktunya.

***

Aku memang tidak pernah menatap wajahnya ketika berbincang, tapi aku bisa menggambarnya di awan senja. Dari suaranya, aku yakin dia pasti wanita yang sungguh cantik, rambutnya coklat ikal sebahu, kulitnya sawo matang terbakar mentari, matanya berbinar selincah suaranya, dan senyumnya ramah menggoda.

Imajiku memang hanya dari suaranya, tapi cukuplah menggenapkanku. Setidaknya, tak lagi aku menerawang senja seorang diri. Suaranya yang cantik, manja, merayu, dan jujur, membuatku ketagihan. Dua hari saja dia tidak menelponku, rasanya hariku kurang lengkap. Seringkali hanya dia yang berbicara dan aku mendengar. Seringkali memang itu inginku. Membiarkan dia berceloteh mengenai berbagai hal, dan menerawangnya di awan senja.

Beruntungnya, Suara Cantikku ini teramat senang bercerita. Hampir selalu dia bercerita tentang tempat dimana dia tinggal. Sebuah Negeri Cinta, dia menyebutnya. Herannya, aku tak pernah bosan mendengar kisahnya. Di negeri itu, katanya, tidak ada orang yang mengenal uang, semua membayar apapun dengan cinta. Kalau gadisku ini menginginkan makanan, ia hanya perlu keluar rumah dan mengeluarkan sekeping cinta, lalu makanan akan datang padanya. Begitupun ketika dia menginginkan pakaian, atau papa saja. "Aku menyimpan sekarung cinta di rumahku," katanya kemarin malam. "Tabungan cintaku banyak, jadi aku tak pernah takut kelaparan," jelasnya.

"Lalu dari mana kau mendapat cinta-cinta itu?" tanyaku penasaran.

"Suatu saat kamu akan tahu," jawabnya semakin membuatku penasaran.

"Sungguh indah," ujarku. "Aku ingin sekali ke sana, bolehkah? Ijinkan aku ke sana, menatapmu lekat, tak hanya dalam awan, menggenggam tanganmu, dan mendengar celoteh renyahmu. Lalu kita bersama menghabiskan senja." Dia hanya diam di ujung telpon tapi aku tau dia masih di sana. Sungguh, dia begitu pandai melekatkanku dalam penasaran.

***

Sudah hampir dua ratus hari kami saling menelpon. Dan sungguh, aku menikmatinya. Kata-katanya membuat hatiku tenteram, aku merasa diperhatikan dan memperhatikan. Aku bisa manja dan dimanja. Walau hanya lewat telepon. Jujur, terkadang aku merasa kurang waras dengan ini semua. Apa kegiatanku ini bisa digolongkan sebagai sesuatu yang waras? Jatuh cinta pada suara, tanpa aku pernah melihat bentuknya. Tapi orang yang sedang jatuh cinta memang seringkali kurang waras. Biarlah begini adanya, toh aku menikmatinya. Aku sungguh jatuh cinta pada wanita itu, lebih tepatnya pada suaranya, dan aku sungguh ingin menjadikannya teman hidupku, aku ingin menjadikannya istriku. Tapi inilah yang terjadi, setiap kali aku tanya, "Boleh aku menikahimu?" dia hanya tertawa pelan, membuatku semakin ingin menatap wajah malunya, lalu mencubit hidungnya. Pasti kelak aku bisa menikahinya. Tunggu saja.

***

Tiga hari ini dia tak menelpon, mungkin dia lupa pada janjinya, mungkin dia sibuk, atau mungkin dia sedang mencari seseorang yang lain. Aku mulai tersiksa dengan pikiranku, rupanya aku sudah kecanduan suaranya, atau lebih tepatnya kecanduan perhatiannya? Atau bahkan kecanduan manjanya? Aku baru menyadari bahwa selama ini aku hanya makhluk kesepian yang menyedihkan. Beberapa saat aku mengutuki diriku sendiri sampai kuputuskan untuk menelponnya.

"Halo," kataku. "Jangan ganggu aku dengan suaramu," jawabnya di seberang sana. Kali ini sungguh lain suaranya. Dia hanya berkata pendek dan ketus. Tak kudengar lagi suara manja merayunya. Aku pasti sudah melakukan kesalahan sehingga dia begitu tersinggung. " Maaf," kataku, "Aku hanya ingin tahu apa salahku? Aku minta maaf, manusia tak ada yang sempurna," aku berusaha menjelaskan.

"Sudah, jangan ganggu aku. Titik!" Jawabnya. Kudengar suara telepon dibanting di seberang sana.

Dan hatiku menangis.

***

Hidupku hancur setelahnya. Saat senja datang, aku enggan membuka mata, hanya meratapi semuanya sendiri. Mengapa aku membiarkan diriku kecanduan suaranya? Mengapa aku ingin menikahinya? Mengapa aku mau memanjakannya? Lebih baik dulu kututup saja telepon ketika pertama kali aku mendengar suaranya, toh apa adanya aku dulu jauh lebih baik ketimbang meranaku sekarang.

Entahlah, hidupku tak pernah lagi sama. Aku sering memegang telepon dan mendekapkannya ke dadaku. Bahkan beberapa kali aku berbicara seorang diri seolah-olah dia ada di seberang sana. Berulang kali aku mencoba menelponnya, tapi tak pernah berhasil. Sepertinya dia sudah mengganti nomernya. Seringkali aku sungguh ingin mendatangi Negeri Cinta, tempat dimana dia tinggal. Ah, andai saja aku tahu bagaimana caraku ke sana. Sialnya, tak pernah kutanyakan itu padanya, atau sudah pernah barangkali, hanya dia tidak pernah menjawabnya. Tentu saja, aku selalu menikmati rasa terkurungku dalam penasaran yang dibuatnya.

***

Sepertinya aku mulai gila saat tiba-tiba telepon berdering. "Halo," kataku. "Hei, halo. Apa kabar? Masih ingat aku?" tanya suara yang tak asing itu, ramah. Akhirnya aku mendengar Suara Cantik itu lagi. Kali ini aku harus tanyakan bagaimana cara ke Negeri Cinta. Harus.

"Hei. Kau masih mau menelponku? Apa kabarmu?" tanyaku pada suara cantik itu.

"Baik. Mmmm... Tidak tidak... Aku hanya menelponmu untuk terakhir kalinya ini saja. Aku hanya ingin berterimakasih."

"Buat apa?" tanyaku heran.

"Kau masih ingat tentang tabungan cintaku? Sekarang sudah bertambah. Terimakasih ya."

Dia menutup telepon dalam keherananku. Sial! Belum sempat aku bertanya padanya caraku ke Negeri Cinta.

Lalu aku sadar. Dia sudah merampas cinta sejatiku. Dia membuatku jatuh cinta lalu meninggalkanku begitu saja. Hanya untuk memenuhi tabungan cintanya....

Aku tak bisa berkata. Hanya menangis sesudahnya...


Selasa, 26 Januari 2010

Perang Batu

"Mengapa mereka melempari kita dengan batu? Apa salah kita?" Tanyaku pada pemuda di sebelahku yang sedang tiarap.

"Sudah, jangan banyak tanya! Tiarap! Ambil batu, dan lempari juga mereka kalau kau tak mau mati," jawabnya.

"Tapi....," kalimatku tak selesai karena batu sekepal tanganku melesat di depan mataku. Aku menjerit kaget lalu tiarap.

"Brengsek!" umpatku.

Aku mengambil sebongkah batu tadi dan kulemparkan kuat-kuat ke arah gerombolan pelempar batu di seberang mataku. Aku terus berpikir, mengapa pertempuran ini terjadi. Apa karena mereka tersinggung dengan perkataan salah satu dari kami? Atau apa karena mereka ingin menguasai daerah kami?

Banyak orang mulai tumbang, dari kedua sisi. Kepala mereka berdarah. Mereka diangkut ke tepi pertempuran. "Mati aku," pikirku. Jangan sampai aku mati. Aku belum beri makan ayam-ayamku. Kasihan mereka.

Aku ingin lari dari sini. Aku tak mau tahu pertempuran macam apa ini. Tapi bagaimana caranya lari? Semua sudah terlanjur. Salah-salah, aku yang bisa kena lemparan sana sini.

"Rumahmu dimana?" tanyaku pada pemuda tadi. "Di atas bukit," jawabnya. "Lalu para penyerang itu? Dari mana asal mereka?" lanjutku. "Dari sebrang Danau Lumpur," jawabnya.

Aku tersedak. "Sial!" pikirku, "Sebrang Danau Lumpur? Bukankah itu rumah sahabatku? Aku tidak mungkin melanjutkan pertempuran ini. Mungkin dia sedang di seberang sana ikut rombongan penyerang itu. Aku tidak mau menyakitinya."

Aku hanya terdiam, berpikir bagaimana caranya pergi dari sini. Aku tidak mau ikut pertempuran ini. Aku bangkit berdiri, ketika pemuda itu berteriak, "Awaaas!!"

Lalu aku tidak ingat apapun...