Kamis, 28 Januari 2010

Mati Esok Hari

"Aku mati esok hari," katanya sambil menatapku tajam.

"Lalu mengapa kau beritahu aku? Apa pentingnya?" tanyaku sambil mengalihkan pandangan. Aku tak pernah bisa menatapnya lama.

"Tidak, tidak pernah penting hidupku bagimu. Maaf, aku hanya ingin menghabiskan malam ini denganmu sebelum aku mati," katanya mengiba.

"Buat apa? Toh setelah itu kau mati dan tidak merasakan apapun,"

"Siapa tahu dengan sedikit saja bahagia, aku bisa hidup lebih lama..." dia mulai merayuku. Tangannya menggenggam tanganku. Kukibaskan dan aku berdiri.

Aku acungkan telunjukku ke matanya, "Jangan pernah mencoba merayuku. Aku tidak peduli kau mau mati atau tetap hidup. Aku tidak pernah peduli kau bahagia atau tidak. Aku hanya ingin kau pergi dari hidupku."

Lalu dia beranjak memunggungiku dan hilang ditelan gelap.

***

"Kenapa kau masih datang kesini? Katamu kau mati hari ini?"

"Mungkin diundur matiku," jawabnya.

"Kenapa tidak cepat-cepat saja kau mati? Aku sudah bosan melihatmu datang setiap malam dan berkata, "Aku mati esok hari","

"Tolong, sekali saja dengarkan aku, aku sungguh akan mati esok hari. Kali ini aku sungguh-sungguh," katanya mencoba meyakinkanku.

"Bisa tidak sekali saja kau mengerti? Kau tidak akan pernah bisa memaksaku menghabiskan satu malam saja denganmu. Aku tidak pedulikanmu," ujarku marah.

Sekali lagi dia beranjak dalam gelap.

***

Sekian malam berlalu, dan aku cukup bahagia, dia sudah tidak pernah datang lagi. Tidak ada lagi yang merengek, "Aku mati esok hari."

Tidurku pulas, hidupku lega, tanpa pernah sekalipun aku berpikir tentang si Mati Esok Hari. Aku tidak pernah mencari tahu dimana orang itu. Aku tidak peduli dia sudah mati atau belum. Mungkin dia merengek-rengek pada gadis lain untuk menemaninya menghabiskan malam dengan berkata, "Aku mati esok hari."

Mungkin dia sudah menemukan seseorang yang mau menemaninya menghabiskan malam. Atau dia sudah benar mati. Aku tak peduli. Yang jelas aku senang dia tak pernah datang padaku.

***

Sampai suatu ketika nafasku tersengal. Mungkin saja aku mati esok hari.

Aku tergegas mencari pemuda, yang bahkan aku tak pernah mau tau namanya. Aku sungguh ingin menatap matanya, mengijinkannya menggenggam tanganku, dan akan kuhabiskan semalam bersamanya. Aku hanya ingin minta maaf.

Semua gelap sudah kutelusuri, tapi tak pernah kutemukan pemuda itu. Aku hanya ingin dia jangan mati dulu sebelum sempat kami sempat bertemu.

Jangan mati esok hari,... Aku mohon...

***

Solo, 28 Januari 2010

Rabu, 27 Januari 2010

Tabungan Cinta

"Nanti malam aku telpon lagi ya, Sayang..," katanya manja, setengah merayuku. "Mmmm....," ujarku setengah berpikir, "Baiklah,... tapi ada satu hal yang ingin aku tanyakan padamu sebelum kamu menutup pembicaraan kita," kataku. Sesungguhnya aku sekedar ingin mengulur perbincangan kami.

"Apa itu?" dia menanggapinya sedikit penasaran.

"Jawab dengan jujur pertanyaanku," pintaku. Tidak ada suara di seberang telepon. "Pastilah dia semakin penasaran," pikirku. "Sayang, masihkah kau disitu?" tanyaku.

"Ya,.. apa yang ingin kau tanyakan?"

"Suka sekali kamu berbincang denganku. Mengapa?"

"Karena kamu tidak banyak berbicara, justru itu yang kusuka," jawabnya singkat lalu menutup telepon.

Aku terhenyak sejenak. Wanita satu ini sungguh misterius. Belum ada sosok yang membuatku selalu berangan. Dia yang pertama. Aku belum pernah bertemu muka dengannya, kami hanya selalu berbincang lewat telepon.

***

Berawal dari suatu senja. Ketika aku sedang sendirian menerawang awan, dering telepon memutus lamunanku kala itu. Kupikir, "Siapa yang akan mengajakku berbincang senja ini? Ah, mungkin salah sambung." Tapi kuangkat juga telpon itu dan suaranya menyambutku, katanya, "Hai,.. bagaimana senjamu hari ini? Bolehkah kutemani menerawangnya?"

"Siapa kau? Bagaimana pernah kau tau kebiasaan senjaku?

"Tak usah kau pedulikan siapa aku,... aku hanya ingin menemanimu."

Dan kami pun terhanyut dalam perbincangan sejak saat itu, setiap saat kami menginginkannya, tak peduli waktunya.

***

Aku memang tidak pernah menatap wajahnya ketika berbincang, tapi aku bisa menggambarnya di awan senja. Dari suaranya, aku yakin dia pasti wanita yang sungguh cantik, rambutnya coklat ikal sebahu, kulitnya sawo matang terbakar mentari, matanya berbinar selincah suaranya, dan senyumnya ramah menggoda.

Imajiku memang hanya dari suaranya, tapi cukuplah menggenapkanku. Setidaknya, tak lagi aku menerawang senja seorang diri. Suaranya yang cantik, manja, merayu, dan jujur, membuatku ketagihan. Dua hari saja dia tidak menelponku, rasanya hariku kurang lengkap. Seringkali hanya dia yang berbicara dan aku mendengar. Seringkali memang itu inginku. Membiarkan dia berceloteh mengenai berbagai hal, dan menerawangnya di awan senja.

Beruntungnya, Suara Cantikku ini teramat senang bercerita. Hampir selalu dia bercerita tentang tempat dimana dia tinggal. Sebuah Negeri Cinta, dia menyebutnya. Herannya, aku tak pernah bosan mendengar kisahnya. Di negeri itu, katanya, tidak ada orang yang mengenal uang, semua membayar apapun dengan cinta. Kalau gadisku ini menginginkan makanan, ia hanya perlu keluar rumah dan mengeluarkan sekeping cinta, lalu makanan akan datang padanya. Begitupun ketika dia menginginkan pakaian, atau papa saja. "Aku menyimpan sekarung cinta di rumahku," katanya kemarin malam. "Tabungan cintaku banyak, jadi aku tak pernah takut kelaparan," jelasnya.

"Lalu dari mana kau mendapat cinta-cinta itu?" tanyaku penasaran.

"Suatu saat kamu akan tahu," jawabnya semakin membuatku penasaran.

"Sungguh indah," ujarku. "Aku ingin sekali ke sana, bolehkah? Ijinkan aku ke sana, menatapmu lekat, tak hanya dalam awan, menggenggam tanganmu, dan mendengar celoteh renyahmu. Lalu kita bersama menghabiskan senja." Dia hanya diam di ujung telpon tapi aku tau dia masih di sana. Sungguh, dia begitu pandai melekatkanku dalam penasaran.

***

Sudah hampir dua ratus hari kami saling menelpon. Dan sungguh, aku menikmatinya. Kata-katanya membuat hatiku tenteram, aku merasa diperhatikan dan memperhatikan. Aku bisa manja dan dimanja. Walau hanya lewat telepon. Jujur, terkadang aku merasa kurang waras dengan ini semua. Apa kegiatanku ini bisa digolongkan sebagai sesuatu yang waras? Jatuh cinta pada suara, tanpa aku pernah melihat bentuknya. Tapi orang yang sedang jatuh cinta memang seringkali kurang waras. Biarlah begini adanya, toh aku menikmatinya. Aku sungguh jatuh cinta pada wanita itu, lebih tepatnya pada suaranya, dan aku sungguh ingin menjadikannya teman hidupku, aku ingin menjadikannya istriku. Tapi inilah yang terjadi, setiap kali aku tanya, "Boleh aku menikahimu?" dia hanya tertawa pelan, membuatku semakin ingin menatap wajah malunya, lalu mencubit hidungnya. Pasti kelak aku bisa menikahinya. Tunggu saja.

***

Tiga hari ini dia tak menelpon, mungkin dia lupa pada janjinya, mungkin dia sibuk, atau mungkin dia sedang mencari seseorang yang lain. Aku mulai tersiksa dengan pikiranku, rupanya aku sudah kecanduan suaranya, atau lebih tepatnya kecanduan perhatiannya? Atau bahkan kecanduan manjanya? Aku baru menyadari bahwa selama ini aku hanya makhluk kesepian yang menyedihkan. Beberapa saat aku mengutuki diriku sendiri sampai kuputuskan untuk menelponnya.

"Halo," kataku. "Jangan ganggu aku dengan suaramu," jawabnya di seberang sana. Kali ini sungguh lain suaranya. Dia hanya berkata pendek dan ketus. Tak kudengar lagi suara manja merayunya. Aku pasti sudah melakukan kesalahan sehingga dia begitu tersinggung. " Maaf," kataku, "Aku hanya ingin tahu apa salahku? Aku minta maaf, manusia tak ada yang sempurna," aku berusaha menjelaskan.

"Sudah, jangan ganggu aku. Titik!" Jawabnya. Kudengar suara telepon dibanting di seberang sana.

Dan hatiku menangis.

***

Hidupku hancur setelahnya. Saat senja datang, aku enggan membuka mata, hanya meratapi semuanya sendiri. Mengapa aku membiarkan diriku kecanduan suaranya? Mengapa aku ingin menikahinya? Mengapa aku mau memanjakannya? Lebih baik dulu kututup saja telepon ketika pertama kali aku mendengar suaranya, toh apa adanya aku dulu jauh lebih baik ketimbang meranaku sekarang.

Entahlah, hidupku tak pernah lagi sama. Aku sering memegang telepon dan mendekapkannya ke dadaku. Bahkan beberapa kali aku berbicara seorang diri seolah-olah dia ada di seberang sana. Berulang kali aku mencoba menelponnya, tapi tak pernah berhasil. Sepertinya dia sudah mengganti nomernya. Seringkali aku sungguh ingin mendatangi Negeri Cinta, tempat dimana dia tinggal. Ah, andai saja aku tahu bagaimana caraku ke sana. Sialnya, tak pernah kutanyakan itu padanya, atau sudah pernah barangkali, hanya dia tidak pernah menjawabnya. Tentu saja, aku selalu menikmati rasa terkurungku dalam penasaran yang dibuatnya.

***

Sepertinya aku mulai gila saat tiba-tiba telepon berdering. "Halo," kataku. "Hei, halo. Apa kabar? Masih ingat aku?" tanya suara yang tak asing itu, ramah. Akhirnya aku mendengar Suara Cantik itu lagi. Kali ini aku harus tanyakan bagaimana cara ke Negeri Cinta. Harus.

"Hei. Kau masih mau menelponku? Apa kabarmu?" tanyaku pada suara cantik itu.

"Baik. Mmmm... Tidak tidak... Aku hanya menelponmu untuk terakhir kalinya ini saja. Aku hanya ingin berterimakasih."

"Buat apa?" tanyaku heran.

"Kau masih ingat tentang tabungan cintaku? Sekarang sudah bertambah. Terimakasih ya."

Dia menutup telepon dalam keherananku. Sial! Belum sempat aku bertanya padanya caraku ke Negeri Cinta.

Lalu aku sadar. Dia sudah merampas cinta sejatiku. Dia membuatku jatuh cinta lalu meninggalkanku begitu saja. Hanya untuk memenuhi tabungan cintanya....

Aku tak bisa berkata. Hanya menangis sesudahnya...


Selasa, 26 Januari 2010

Perang Batu

"Mengapa mereka melempari kita dengan batu? Apa salah kita?" Tanyaku pada pemuda di sebelahku yang sedang tiarap.

"Sudah, jangan banyak tanya! Tiarap! Ambil batu, dan lempari juga mereka kalau kau tak mau mati," jawabnya.

"Tapi....," kalimatku tak selesai karena batu sekepal tanganku melesat di depan mataku. Aku menjerit kaget lalu tiarap.

"Brengsek!" umpatku.

Aku mengambil sebongkah batu tadi dan kulemparkan kuat-kuat ke arah gerombolan pelempar batu di seberang mataku. Aku terus berpikir, mengapa pertempuran ini terjadi. Apa karena mereka tersinggung dengan perkataan salah satu dari kami? Atau apa karena mereka ingin menguasai daerah kami?

Banyak orang mulai tumbang, dari kedua sisi. Kepala mereka berdarah. Mereka diangkut ke tepi pertempuran. "Mati aku," pikirku. Jangan sampai aku mati. Aku belum beri makan ayam-ayamku. Kasihan mereka.

Aku ingin lari dari sini. Aku tak mau tahu pertempuran macam apa ini. Tapi bagaimana caranya lari? Semua sudah terlanjur. Salah-salah, aku yang bisa kena lemparan sana sini.

"Rumahmu dimana?" tanyaku pada pemuda tadi. "Di atas bukit," jawabnya. "Lalu para penyerang itu? Dari mana asal mereka?" lanjutku. "Dari sebrang Danau Lumpur," jawabnya.

Aku tersedak. "Sial!" pikirku, "Sebrang Danau Lumpur? Bukankah itu rumah sahabatku? Aku tidak mungkin melanjutkan pertempuran ini. Mungkin dia sedang di seberang sana ikut rombongan penyerang itu. Aku tidak mau menyakitinya."

Aku hanya terdiam, berpikir bagaimana caranya pergi dari sini. Aku tidak mau ikut pertempuran ini. Aku bangkit berdiri, ketika pemuda itu berteriak, "Awaaas!!"

Lalu aku tidak ingat apapun...

Tertinggal Kereta

Petugas stasiun sudah meniup peluitnya dan berteriak ke arah penumpang, "Kereta segera berangkat!! Lekas naik.."

Aku hanya memandang langit, sudah jingga memang. Tapi aku sungguh belum ingin melangkahkan kakiku mendekati kereta.

Kualihkan pandangan. Ratusan orang naik, takut tertinggal kereta, yang katanya menuju tempat dimana kebahagiaan selalu ada.

"Ayo...!!" petugas stasiun sekali lagi mengingatkan untuk lekas naik. Aku hanya menerawang, tanpa ekspresi. Biar mereka berangkat, aku masih ingin di sini, memandang langit jingga.

"Bisa tidak, aku menuju ke tempat dimana kebahagiaan itu selalu ada dengan jalan kaki saja?" Tanyaku pada ibuku suatu ketika. "Bisa, tapi ketika kau sudah sampai disana, kau tak akan pernah sempat merasakan bahagia itu. Sudahlah, jangan buang waktumu.. Kutunggu kau disana. Cepat atau lambat, kau harus berangkat!"

"Tapi buat apa bahagia itu? Apa disana aku bisa memandang langit jingga, melamun, dan menangis? Aku bahagia ketika aku menangis.." Ujarku tanpa dipedulikannya, ibuku bergegas keluar rumah menuju stasiun dan tak pernah kembali. Mungkin dia sudah bahagia di tempat di mana kebahagiaan selalu ada.

"Hei, kamu! Naik sekarang atau kereta berangkat tanpamu!" Teriak petugas stasiun setengah memaksa. Aku hanya memandangnya kosong.

Kereta mulai bergerak pelan... Dan aku memutuskan untuk ikut.

"Tunggu!!!" teriakku. Tapi kereta sudah beranjak semakin cepat. Aku terengah berlari sekuat tenagaku. Kulihat asap mengepul dari cerobongnya.

Aku berlari dan berlari,.. sampai gelap sekelilingku.. gelap dan tak dapat kurasa apapun..

Inikah bahagia itu?


Senin, 25 Januari 2010

Bertemu Bidadari..

Kemarin aku bertemu bidadari.. Dia tidak bersayap, pun tidak cantik. Rambutnya hitam ikal panjang sebahu. Terurai tak rapi. Tubuhnya juga tidak seksi. Dadanya cenderung rata. Dia juga tidak tinggi. Paling 150 cm.

Nampaknya dia juga tidak cerdas. Terlihat dari pandangan matanya yang sesekali kosong, dan tidak sigap. Bidadari itu juga tidak pandai berbicara. Pendiam, pasif..

Tapi dia sungguh pandai bergaya. Setiap ada sorot kamera, dia akan mengembangkan senyum termanisnya.


Aku benci padanya.. Apa yang membuat kekasihku meninggalkanku, yang katanya seorang bidadari, ternyata tak lebih cantik dariku.. Tak lebih cerdas dariku.. Tak lebih seksi dariku,..

Kata kekasihku, "Dia bidadari karena dia pandai memasak..."
Aku berkata, "Tapi aku lebih pandai mencari uang,.. aku bisa menggaji sepuluh bidadari untuk memasakkanmu setiap pagi.."

"Ah, sudahlah,.. aku ingin hidup dengan bidadari itu," katanya seraya berlalu..

Buat apa aku menangis,.. toh kekasihku juga bukan seorang pangeran. Tunggu saja, kelak akan kukenalkan seorang pangeran, yang tidak terlalu baik rupanya, tapi dia punya kerajaan. Dia tidak berdada bidang, tapi berhati emas. Dia tidak pandai merayu, tapi setia..

Dan melihatku sebagai bidadari walau aku tidak pandai memasak..