Rabu, 27 Januari 2010

Tabungan Cinta

"Nanti malam aku telpon lagi ya, Sayang..," katanya manja, setengah merayuku. "Mmmm....," ujarku setengah berpikir, "Baiklah,... tapi ada satu hal yang ingin aku tanyakan padamu sebelum kamu menutup pembicaraan kita," kataku. Sesungguhnya aku sekedar ingin mengulur perbincangan kami.

"Apa itu?" dia menanggapinya sedikit penasaran.

"Jawab dengan jujur pertanyaanku," pintaku. Tidak ada suara di seberang telepon. "Pastilah dia semakin penasaran," pikirku. "Sayang, masihkah kau disitu?" tanyaku.

"Ya,.. apa yang ingin kau tanyakan?"

"Suka sekali kamu berbincang denganku. Mengapa?"

"Karena kamu tidak banyak berbicara, justru itu yang kusuka," jawabnya singkat lalu menutup telepon.

Aku terhenyak sejenak. Wanita satu ini sungguh misterius. Belum ada sosok yang membuatku selalu berangan. Dia yang pertama. Aku belum pernah bertemu muka dengannya, kami hanya selalu berbincang lewat telepon.

***

Berawal dari suatu senja. Ketika aku sedang sendirian menerawang awan, dering telepon memutus lamunanku kala itu. Kupikir, "Siapa yang akan mengajakku berbincang senja ini? Ah, mungkin salah sambung." Tapi kuangkat juga telpon itu dan suaranya menyambutku, katanya, "Hai,.. bagaimana senjamu hari ini? Bolehkah kutemani menerawangnya?"

"Siapa kau? Bagaimana pernah kau tau kebiasaan senjaku?

"Tak usah kau pedulikan siapa aku,... aku hanya ingin menemanimu."

Dan kami pun terhanyut dalam perbincangan sejak saat itu, setiap saat kami menginginkannya, tak peduli waktunya.

***

Aku memang tidak pernah menatap wajahnya ketika berbincang, tapi aku bisa menggambarnya di awan senja. Dari suaranya, aku yakin dia pasti wanita yang sungguh cantik, rambutnya coklat ikal sebahu, kulitnya sawo matang terbakar mentari, matanya berbinar selincah suaranya, dan senyumnya ramah menggoda.

Imajiku memang hanya dari suaranya, tapi cukuplah menggenapkanku. Setidaknya, tak lagi aku menerawang senja seorang diri. Suaranya yang cantik, manja, merayu, dan jujur, membuatku ketagihan. Dua hari saja dia tidak menelponku, rasanya hariku kurang lengkap. Seringkali hanya dia yang berbicara dan aku mendengar. Seringkali memang itu inginku. Membiarkan dia berceloteh mengenai berbagai hal, dan menerawangnya di awan senja.

Beruntungnya, Suara Cantikku ini teramat senang bercerita. Hampir selalu dia bercerita tentang tempat dimana dia tinggal. Sebuah Negeri Cinta, dia menyebutnya. Herannya, aku tak pernah bosan mendengar kisahnya. Di negeri itu, katanya, tidak ada orang yang mengenal uang, semua membayar apapun dengan cinta. Kalau gadisku ini menginginkan makanan, ia hanya perlu keluar rumah dan mengeluarkan sekeping cinta, lalu makanan akan datang padanya. Begitupun ketika dia menginginkan pakaian, atau papa saja. "Aku menyimpan sekarung cinta di rumahku," katanya kemarin malam. "Tabungan cintaku banyak, jadi aku tak pernah takut kelaparan," jelasnya.

"Lalu dari mana kau mendapat cinta-cinta itu?" tanyaku penasaran.

"Suatu saat kamu akan tahu," jawabnya semakin membuatku penasaran.

"Sungguh indah," ujarku. "Aku ingin sekali ke sana, bolehkah? Ijinkan aku ke sana, menatapmu lekat, tak hanya dalam awan, menggenggam tanganmu, dan mendengar celoteh renyahmu. Lalu kita bersama menghabiskan senja." Dia hanya diam di ujung telpon tapi aku tau dia masih di sana. Sungguh, dia begitu pandai melekatkanku dalam penasaran.

***

Sudah hampir dua ratus hari kami saling menelpon. Dan sungguh, aku menikmatinya. Kata-katanya membuat hatiku tenteram, aku merasa diperhatikan dan memperhatikan. Aku bisa manja dan dimanja. Walau hanya lewat telepon. Jujur, terkadang aku merasa kurang waras dengan ini semua. Apa kegiatanku ini bisa digolongkan sebagai sesuatu yang waras? Jatuh cinta pada suara, tanpa aku pernah melihat bentuknya. Tapi orang yang sedang jatuh cinta memang seringkali kurang waras. Biarlah begini adanya, toh aku menikmatinya. Aku sungguh jatuh cinta pada wanita itu, lebih tepatnya pada suaranya, dan aku sungguh ingin menjadikannya teman hidupku, aku ingin menjadikannya istriku. Tapi inilah yang terjadi, setiap kali aku tanya, "Boleh aku menikahimu?" dia hanya tertawa pelan, membuatku semakin ingin menatap wajah malunya, lalu mencubit hidungnya. Pasti kelak aku bisa menikahinya. Tunggu saja.

***

Tiga hari ini dia tak menelpon, mungkin dia lupa pada janjinya, mungkin dia sibuk, atau mungkin dia sedang mencari seseorang yang lain. Aku mulai tersiksa dengan pikiranku, rupanya aku sudah kecanduan suaranya, atau lebih tepatnya kecanduan perhatiannya? Atau bahkan kecanduan manjanya? Aku baru menyadari bahwa selama ini aku hanya makhluk kesepian yang menyedihkan. Beberapa saat aku mengutuki diriku sendiri sampai kuputuskan untuk menelponnya.

"Halo," kataku. "Jangan ganggu aku dengan suaramu," jawabnya di seberang sana. Kali ini sungguh lain suaranya. Dia hanya berkata pendek dan ketus. Tak kudengar lagi suara manja merayunya. Aku pasti sudah melakukan kesalahan sehingga dia begitu tersinggung. " Maaf," kataku, "Aku hanya ingin tahu apa salahku? Aku minta maaf, manusia tak ada yang sempurna," aku berusaha menjelaskan.

"Sudah, jangan ganggu aku. Titik!" Jawabnya. Kudengar suara telepon dibanting di seberang sana.

Dan hatiku menangis.

***

Hidupku hancur setelahnya. Saat senja datang, aku enggan membuka mata, hanya meratapi semuanya sendiri. Mengapa aku membiarkan diriku kecanduan suaranya? Mengapa aku ingin menikahinya? Mengapa aku mau memanjakannya? Lebih baik dulu kututup saja telepon ketika pertama kali aku mendengar suaranya, toh apa adanya aku dulu jauh lebih baik ketimbang meranaku sekarang.

Entahlah, hidupku tak pernah lagi sama. Aku sering memegang telepon dan mendekapkannya ke dadaku. Bahkan beberapa kali aku berbicara seorang diri seolah-olah dia ada di seberang sana. Berulang kali aku mencoba menelponnya, tapi tak pernah berhasil. Sepertinya dia sudah mengganti nomernya. Seringkali aku sungguh ingin mendatangi Negeri Cinta, tempat dimana dia tinggal. Ah, andai saja aku tahu bagaimana caraku ke sana. Sialnya, tak pernah kutanyakan itu padanya, atau sudah pernah barangkali, hanya dia tidak pernah menjawabnya. Tentu saja, aku selalu menikmati rasa terkurungku dalam penasaran yang dibuatnya.

***

Sepertinya aku mulai gila saat tiba-tiba telepon berdering. "Halo," kataku. "Hei, halo. Apa kabar? Masih ingat aku?" tanya suara yang tak asing itu, ramah. Akhirnya aku mendengar Suara Cantik itu lagi. Kali ini aku harus tanyakan bagaimana cara ke Negeri Cinta. Harus.

"Hei. Kau masih mau menelponku? Apa kabarmu?" tanyaku pada suara cantik itu.

"Baik. Mmmm... Tidak tidak... Aku hanya menelponmu untuk terakhir kalinya ini saja. Aku hanya ingin berterimakasih."

"Buat apa?" tanyaku heran.

"Kau masih ingat tentang tabungan cintaku? Sekarang sudah bertambah. Terimakasih ya."

Dia menutup telepon dalam keherananku. Sial! Belum sempat aku bertanya padanya caraku ke Negeri Cinta.

Lalu aku sadar. Dia sudah merampas cinta sejatiku. Dia membuatku jatuh cinta lalu meninggalkanku begitu saja. Hanya untuk memenuhi tabungan cintanya....

Aku tak bisa berkata. Hanya menangis sesudahnya...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar